Sabtu, 24 April 2010

UPACARA PEMBUAHAN SESUAI KITAB SUCI WEDA

Garbhadhana: Upacara Pembuahan



V.1. Pendahuluan.

Samskara ini juga disebut dengan niseka (pengeluaran air mani) dan rtu-samagam (perkawinan pada saat yang tepat).
Upacara ini dimaksudkan untuk penyucian makhluk hidup dimulai bahkan sebelum anak tersebut dilahirkan. Upacara yang pertama seperti ini dikenal dengan nama garbhadana-samskara, bertujuan menyucikan kegiatan pembuahan. Kelahiran pertama terjadi pada saat garbhadana-samskara (Kita harus mengerti bahwa ketika anak tinggal di dalam kandungan ibunya, kenyataannya dia telah berusia satu tahun. Sang jiwa mengambil sebuah badan pada saat pengisian (pembuahan) bukan pada saat bersalin), sementara kelahiran kedua berlangsung pada waktu inisiasi (diksa), ketika guru kerohanian memberikan muridnya tali suci. Hanya dengan demikianlah seseorang yang telah menjalankan kedua samskara ini benar-benar pantas disebut kelahiran kedua (lihat penjelasan Prabhupada dalam Srimad-Bhagavatam, 1.4.25). Karena itulah mengapa sebelum mengandung seorang anak, para grahasta melakukan garbhadana-samskara, yang mana tujuannya untuk masa depan anak yang berawal dari keadaan yang murni. Upacara ini dimaksudkan untuk memperoleh kecerdasan, kebangsawanan dan anak-anak yang saleh.
Garbhadana-samskara bukan hanya untuk para brahmana atau kelahiran kedua, tetapi juga ditujukan untuk siapa saja yang mengikuti paham hidup Vaisnava.
Sebelum kita bahas lebih lanjut, adalah sangat penting untuk menjawab beberapa pertanyaan yang masuk akal yang mungkin akan muncul: Apakah merupakan suatu perbuatan berdosa bagi dua orang yang saling jatuh cinta melakukan hubungan di luar nikah? Bagaimana mungkin suatu keinginan yang alami, ketertarikan yang alami, yang tidak dimaksudkan untuk melakukan kekerasan dan tidak menyebabkan muncul dampak yang negatif namun melakukan atas dasar sama-sama suka dikatakan terlarang?
Jawabannya sangat sederhana: kenikmatan seksual diperlukan bagi makhluk hidup, tetapi hal ini menurunkan martabat dan memperbudaknya. Mencari cara untuk membebaskannya, tradisi Veda memasukkan kenikmatan seperti ini ke dalam grhastha asrama.
Seseorang seharusnya juga mengetahui kebanggaan itu, yang mana menghambat keinsafan diri, memajukan kenikmatan material. Sibuk dengan kenikmatan seperti itu, seseorang berpikir dia mengendalikan keadaan sejak dia memperoleh kesenangan darinya.
Ada tiga jenis kebahagiaan di dunia ini seperti halnya ada tiga guna: kebahagiaan dalam sifat kebaikan, barangkali hanya seperti racun pada awalnya namun berangsur-angsur menjadi seperti minuman kekekalan. Dan sebaliknya, kebahagiaan dalam sifat nafsu muncul seperti minuman kekekalan pada awalnya kemudian berbalik menjadi racun. Kebahagiaan dalam sifat kebodohan kebanyakan memperoleh kesenangan dengan bermalas-malasan dan tidur, minum-minuman dan makan tanpa pikir dan tidak mau tahu.
Mencari kebahagiaan merupakan hal yang alami meskipun makhluk hidup sering hanya menemukan “memamah sesuatu yang telah dikunyah”; dengan kata lain, “Kenikmatannya tidak lain hanya sebuah pengulangan pengalaman di masa lampau.” Apa yang menunjukkan kesenangan pada awalnya mungkin kemudian akan menjadi seperti racun. Ketika indria berhubungan dengan suatu hal, hanya ada kebahagiaan dan penderitaan yang segera akan berlalu. Untuk keluar dari keadaan ini dimana kebahagiaan dan kesengsaraan datang silih berganti, seseorang harus mencapai keinsafan diri seperti halnya sebuah pencarian hanya bisa berhasil dengan mengikuti berbagai aturan dan peraturan untuk mengendalikan pikiran dan indria. Dikatakan bahwa prosedur ini sangat sulit. “pahit seperti racun”, tetapi jika seseorang berhasil mengikuti peraturan dan sampai pada posisi yang rohani, dia mulai minum minuman kekekalan yang sebenarnya dan dia menikmati kehidupan.
Dalam Srimad Bhagavatam Skanda 2 Bab 6 yang berjudul “Penegasan Purusa-sukta”. Sloka 8 menyebutkan: “Dari organ kelamin Tuhan dihasilkan air, air mani, keturunan, hujan, dan ayah yang menghasilkan keturunan. Organ kelamin-Nya adalah penyebab kenikmatan yang mengalahkan penderitaan dalam berketurunan.”: Srila Prabhupada menyampaikan dalam penjelasaannya untuk ayat ini: “Orang akan sama sekali berhenti berketurunan jika, atas karunia Tuhan, tidak terdapat sebuah selaput, yaitu substansi pemberi kenikmatan, pada permukaan organ-organ kelamin. Substansi ini memberi kenikmatan yang begitu kuat hingga hal itu sepenuhnya mengalahkan penderitaan berupa beban-beban keluarga… Kenikmatan ini bukanlah palsu karena ia bersumber dari badan rohani Tuhan. Dengan kata lain, substansi pemberi kenikmatan ini adalah sebuah kenyataan, namun ia sudah mengambil aspek terputar balik yang disebabkan oleh pencemaran material.
Apabila seorang laki-laki dan wanita bertemu, dipesona oleh keadaan yang tadi, menjadi tawanan, kecuali kalau dia adalah seorang yang paling rohani. Pada saat itu juga, sebuah perasaan yang dominan dan keinginan kepada Tuhan melebihi segala-galanya, dia mengalami kemajuan setiap hari dalam kehidupannya. Ini bisa juga terjadi dengan yang wanita. Perbudakan ini bisa dihindari jika kehidupan seksual tidak bertentangan dengan dharma. Jika hal ini sesuai dengan upacara yang ditentukan, ini bukanlah hal yang tercela (B.G. 7.11) dan seorang yang berumah tangga kemudian bisa mencapai dunia rohani. Pembebasan dari ikatan material ini adalah perhatian yang paling utama dengan pemikiran yang sederhana. Sampai akhir ini, Masyarakat India kuno membagi kehidupan manusia ke dalam empat tahapan (asrama) yang berdasarkan pada harapan hidup seseorang selama seratus tahun. Pada tahap pertama, yang berkisar dari umur lima sampai dua puluh lima tahun, seseorang dilatih sebagai seorang brahmacari, bahwa dia mengerti dengan pasti, bahwa lawan jenis bergabung yang tanpa disadari/kesadaran mengarahkan/menuntun kita dari kedudukan ini. Setelah itu dia mungkin akan menikah dan kemudian menjadi seorang grhasta. Jika sebelum memasuki grhasta-asrama dia senantiasa tetap sebagai seorang brahmacari, dia tidak akan mempunyai kesulitan untuk mengontrol indrianya bahkan dengan kehadiran istrinya. Seorang seharusnya tidak mengambil seorang istri jika dia tidak bisa membebaskannya dari cengkeraman keadaan.
Usia minimum bagi laki-laki untuk menikah adalah dua puluh lima tahun. Pada usia itu, pertumbuhan badan dan organ seperti prostat menjadi secara lebih pasti, tubuh tidak lama menggunakan energi yang dihasilkannya untuk mendirikannya. Energi ini berasal dari dhatus seperti sukra, air mani, yang paling besar dari semua dhatus. Pada saat mencapai usia ini, seorang laki-laki bisa mengeluarkan air maninya untuk menurunkan anak tanpa dugaan buruk pada mental dan kesehatan fisiknya. Di sisi lain, dengan melakukan hubungan seksual sebelum memasuki usia dua puluh lima tahun, secara tidak langsung penurunan mental dan kemampuan fisik itu mungkin kemudian terlihat pada keturunannya. Ini sesuatu seperti setengah makanan dari seorang anak (otak, badan) selama pertumbuhan ketika dia memerlukan makanan yang bergizi untuk pertumbuhannya. Sekian banyak darah diperlukan untuk memperoleh sedikit air mani. (menurut tradisi, untuk memperoleh sejumlah air mani yang diperlukan, kira-kira sebanyak enam kali jumlah darah).
Dengan begitu dianjurkan para Vaisnava agar mempraktekkan pantangan secara lengkap bukan hanya menghindari keinginan untuk menikmati dan kenikmatan seksual. Namun juga memelihara spermanya. Karena kehilangan pada masa tua menurunkan daya tahan badan dan pikiran. Karena itulah mengapa para rohaniwan dan para yogi mempraktekkan pertapaan dengan tujuan hidup lebih lama atau paling tidak tanpa berbagai kesulitan yang disebabkan oleh penuaan dini sementara menguatkan ingatan dan kecerdasan. Dan sebaliknya, dia yang telah kehilangan air maninya secara sembarangan akan melihat kehidupannya dan kemampuan mentalnya menurun. (S.B. 3.26.57). Permasalahan ini tidak hanya menjadi perhatian bagi laki-laki, hal yang sama juga berlaku untuk para wanita. Hubungan seksual yang tidak menyebabkan kematian hanyalah yang tidak bertentangan dengan dharma dan dengan demikian mewakili Tuhan.
Terpisah dari pertimbangan fisik seperti itu, kehidupan seksual merupakan hal yang serupa dengan bunuh diri bagi seorang yang mengharapkan kesempurnaan dalam hidupnya (secara rohani), jika hal ini bertentangan dengan kitab suci: “Dunia rohani terdiri dari tiga perempat energi Tuhan, yang berada di luar dunia material, dan ini khususnya dimaksudkan bagi siapa yang tidak pernah lahir kembali. Dengan kata lain, siapa saja yang masih terikat dengan kehidupan keluarga dan siapa yang tidak dengan strik mengikuti sumpah membujang, harus hidup di ketiga dunia ini.” (S.B. 2.6.20)
Kitab Dharma-sastra menganjurkan bahwa seorang meninggalkan kehidupan seksualnya setelah berusia empat puluh tahun, hubungan seksual membangkitkan semua pengaruh masa lalu yang mana tidak menyenangkan bagi orang yang berharap untuk memperoleh pembebasan. Pada usia itu, saatnya memikirkan bahwa pernikahan sebagai penyatuan suci dua jiwa di dalam jalan keinsafan diri.
Kerohanian dikaitkan dengan memelihara badan dan pikiran mereka sehat secara sempurna. Badan memuat pikiran; ini adalah alat yang akan memandu sang jiwa mencapai tujuannya. Diantara berbagai jenis penderitaan, kehilangan cairan air mani adalah salah satu hal yang penting. Substansi yang berharga ini tidak hanya memberikan kekuatan untuk tubuh tetapi juga untuk ingatan karena mengandung nutrisi untuk otak melalui urat saraf tulang belakang: “Orang-orang suci dan sannyasi… yang bisa menaikan air maninya ke otak .. bisa hidup di kerajaan yang dikenal dengan Brahmaloka.” (S.B. 11.6.47) “Pada awalnya, Brahma menciptakan empat resi agung yang bernama Sanaka, Sananda, Sanatana dan Sanat Kumara. Mereka semua tidak ingin menjalani kegiatan-kegiatan yang materialistik sebab mereka berkedudukan sangat mulia karena air maninya mengalir ke atas.” (S.B. 3.12.4) Tetapi orang hanya bisa melakukan hal yang demikian jika dia tidak pernah mengeluarkan cairan maninya seperti orang-orang yang disebut urdhva-retasah (S.B. 3.12.4).
Akibatnya, kehilangan air mani memperlemah kemampuan intelektual kita sedangkan tetap memeliharanya akan menambah kemampuan intelektual. Kenyataannya, otak dan air mani sesungguhnya memiliki komposisi zat kimia yang sama: keduanya sangat kaya akan lesitin, melebihi bagian tubuh yang lainnya. Lesitin juga merupakan unsur pokok dari jaringan gelisah. Unsur utama dari cairan air mani yakni kalsium, albumin, lesitin, fosfor, dan nukleo protein, ditemukan dalam bagian yang berbeda pada otak dan urat saraf tulang belakang.
Orang-orang rohaniwan India selalu menggunakan pernyataan, Alcmeon, seorang dokter Pythagorean, suatu ketika dikeluarkan dan dilakukan oleh seseorang, berubah menjadi bagian-bagian yang halus yang fungsinya untuk menyuburkan otak yang pada akhirnya harus disuburkan oleh pelakunya sendiri. Plato dan Phytagoras percaya jika ini erat hubungannya dengan urat saraf tulang belakang dan kekurangan hal itu mengurangi daya tahan tubuhnya. Phytagoras mengetahui ada suatu hubungan antara cairan air mani dan otak, yang nantinya menjadi nutrisi.
Air mani atau cairan air mani, oleh tradisi orang-orang India selalu dijadikan pertimbangan sebagai substansi yang bergizi untuk perasaan takut dan sistem yang berhubungan dengan otak. Lagipula, kehilangan ini dianggap sebagai sebuah gangguan dan faktor kekurangan gizi dari sistem sebelumnya.

V.2. Tingkah Laku

Dengan begitu bagi yang percaya bahwa “gerakan Hare Krishna menganggap kenikmatan hubungan suami isteri sebagai suatu yang haram” atau penyembah yang masih bingung kalau seksual yang sah maksudnya suatu kegiatan seksual yang begitu singkat dan tanpa perasaan, dengan begitu orang tidak memperoleh suatu “perbuatan berdosa” kenikmatan dari hal itu, kita akan mengatakan suatu hal yang benar, dengan begitu tidak ada salah informasi atau salah pengertian.
Bilamana para acarya Vaisnava menganjurkan membatasi kehidupan seksual, ini tidak berarti kalau seorang suami dan istri tinggal terpisah. Menurut tradisi Vaisnava, rencana pernikahan adalah untuk meningkatkan kesadaran rohani setinggi mungkin. Dan sesuai dengan kemajuan seseorang dalam kesadaran rohani, pembatasan seperti ini otomatis terjadi.
Srila Prabhupada membandingkan garbhadana-samskara dengan suatu persembahan prasadam; baik penyembah maupun bukan penyembah makan untuk hidup tetapi penyembah hanya makan makanan suci. Perbedaannya terletak pada bahannya bukan bentuknya, atau tujuan dan kesadaran dengan mana kita bertindak.


V.2.1 Pertimbangan Yang Penting

Hal ini mungkin terjadi kalau orang tua menginginkan seorang anak semata-mata sebagai suatu kesenangan, tetapi kenyataannya ini merupakan suatu tanggung jawab yang berat. Jika kita memiliki perhatian kepada orang yang kita undang hadir di tengah-tengah kita, kita akan melihat segala yang lebih pada perkembangan masa depannya. Kita seharusnya tidak mengundang seorang manusia untuk menjalani kebahagiaan dan penderitaan dengan hidup sederhana karena suatu hari kita akan merasa “egois” ingin memiliki seorang anak. Orang tua harus melihat padanya jika anak yang lahir dari mereka itu tidak masuk ke dalam kandungan seorang ibu lagi. Setidaknya orang bisa membimbing seorang anak untuk mencapai kebebasan dalam kehidupannya itu, tidak perlu menikah atau membuat anak.
Dewasa ini, kata “cinta” bukan hanya semata-mata digunakan untuk mengungkapkan perasaan tetapi juga menunjukkan hubungan seksual. Demikianlah makna asli dari kata itu telah hilang dan kecenderungan untuk mengistilahkan melangsungkan hubungan seksual hanya untuk sementara dan menghargai perasaan cinta“ Ini merupakan suatu kenyataan secara psikologi bahwa ketika seorang wanita pada usia pubersitas bertemu dengan seorang laki-laki dan laki-laki menikmati hubungan seksual dengannya, dia akan mencintai laki-laki itu sepanjang sisa kehidupannya, tanpa memperhatikan siapa dia sebenarnya. Dengan demikian yang disebut cinta di dalam dunia material tidak lain hanyalah kenikmatan seksual.” (Penjelasan Srila Prabhupada dalan Srimad-Bhagavatam 4.25.42)

V.3 Waktu yang Tepat

 Kegiatan membuat seorang anak bisa dilakukan satu kali dalam sebulan. Tetapi jangan pernah dilakukan pada periode waktu yang tidak menguntungkan:

 Malam kesebelas (ekadasi) dan ketigabelas (trayodasi) dalam tiap bulan.
 Hari-hari puasa (vrata), bulan penuh (purnima) dan bulan baru (amavasya).
 Selama tithi astami dan tithi caturdasi (tithi ke delapan dan keempatbelas dalam tiap bulan).
 Ketika salah satu atau kedua suami-istri dalam kondisi lemah atau sakit.
 Pada saat istri sudah hamil. Ketika seorang wanita mengandung, tidak ada permintaan lagi untuk melakukan kegiatan seksual. Orang harus menunggu paling tidak enam bulan setelah kelahiran bayi untuk melakukan hubungan seksual yang sesuai dengan aturan lagi.
 96 jam pertama setelah masa menstruasi.
 Pada waktu sandhya.

Bagi para penganut Weda, waktu yang paling baik untuk garbhadana-samskara dimulai 6 hari setelah siklus menstruasi. Sebenarnya, upacara ini hendaknya dilaksanakan bilamana pembuahan kemungkinan besar berhasil, yakni selama masa subur. Untuk siklus menstruasi 30 hari, masa subur umumnya 15 hari setelah hari pertama, sedangkan yang siklusnya 28 hari, mulai 14 hari setelahnya. Rata-rata masa subur berakhir 5 hari (antara 3 sampai 8 hari).
Orang harus mengingat kalau hubungan seksual seharusnya dilakukan kalau seorang wanita telah selesai menstruasi atau pada waktu 5 hari setelahnya. Hal ini ditetapkan dalam kitab suci seperti Manu-samhita. Lagipula, melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita selama dia menstruasi merupakan praktek tantrik dari aliran “tangan kiri”, salah satunya berhubungan dengan ilmu gaib.
Malam hari pada umumnya adalah waktu untuk menikmati hubungan seksual (S.B.27.14), waktu yang tepat berkisar antara 3 jam setelah matahari terbenam dan 3 jam sebelum matahari terbit. Waktu yang paling baik adalah diantara jam 9 dan 12 malam dan hindari pada waktu tengah malam. Srimad-Bhagavatam skanda ketiga, menjelaskan tentang kehamilan Diti, menunjukkan kepada kita kalau waktu pada saat matahari terbenam adalah “paling tidak bertuah karena pada waktu ini hantu yang berwajah mengerikan dan pengiring setia para hantu-hantu sedang begentayangan.” (S.B. 3.14.23) Hantu-hantu kehilangan badan jasmaninya kerena melakukan kegiatan berdosa. Siva, menjadi sangat baik dengan mereka, melihat kejadian itu mereka mendapatkan badan jasmani. Dia masuk ke dalam kandungan seorang wanita yang sesuka hatinya melakukan hubungan seksual tanpa menghiraukan keadaan dan waktu-waktu yang terlarang. Waktu yang khusus ketika para hantu bergentayangan juga dijelaskan dalam Garuda Purana.
Hubungan seksual di luar waktu yang bertuah untuk pembuahan dilarang oleh ayat-ayat Weda karena perbuatan-perbuatan seperti itu mengganggu tatanan alam yang baku.

V.4. Tempat Yang Tepat Dan Tidak Tepat

V.4.1 Tempat Yang Tepat

Orang harus mempersiapkan tempat yang bersih dan menyenangkan di rumahnya, sebuah tempat tidur yang nyaman (untuk keterangan lebih lanjut, silakan baca penjelasan Srila Prabhupada dalam Srimad-Bhagavatam 3.23.11).

V.4.2 Tempat yang tidak tepat

• Tempat suci (Pura, Ashram)
• Tirthas (tempat ziarah yang suci)
• Tempat pembakaran mayat
• Asrama seorang guru
• Di rumah Vaisnava yang lainnya
• Di bawah pohon suci (Tulasi, beringin, mangga, nim, Bodi, dll)
• Gosalas (Kandang sapi)
• Di hutan atau di dalam air.

 Pada waktu garbhadana-samskara, istri seharusnya tidak meninggalkan rumah.


V.5 Metode

V.5.1 Cermin Pikiran Dari Masing-Masing Pasangan

 Srila Prabhupada menganjurkan baik suami maupun istri berjapa minimal 50 putaran sebelum melakukan garbhadana-samskara.

Suasana tertentu harus dibuat sebelum garbhadana-samskara dan pengaruhnya harus menyentuh perasaan pasangannya. Untuk keterangan lebih lanjut, kami menyarankan pembaca untuk mengacu pada penjelasan Srila Prabhupada dalam Srimad-Bhagavatam (3.23.11), yang mana telah kami kutip di bawah yang berjudul “Kama-sastra”..
Garbhopanisad menekankan pentingnya keadaan pikiran orang tua pada waktu pembuahan. Dari situ dinyatakan bahwa fisik dan psikis yang kacau pada waktu kelahiran merupakan akibat dari pikiran yang bermasalah. Banyak yang menyatakan kalau hidup dan nasib anak tergantung pada keseimbangan pikiran orang tua. Ini proses yang lengkap dan hasil dari karma, dan bagaimana kita bisa menghadapinya dengan menjadi sadar pada perintah Weda. Garbhopanisad mengajarkan bahwa dari pikiran yang kacau akan dilahirkan anak-anak yang buta, lumpuh, bungkuk dan cebol. Menurut Ayur-Weda, cacad muncul ketika sebuah dhatu tidak cukup. Perawatan dengan pengobatan India dan filsafat-filsafat, mudah untuk mempertimbangkan bahwa hasil-hasil yang tidak mencukupi dari para orang tua yang memiliki pertentangan mental yang tidak sehat.


V.5.1.1 Saran

Kita telah mengetahui bahwa malam hari adalah waktu yang terbaik untuk melakukan hubungan seksual. Persiapannya bisa dimulai selama satu hari (berjapa 50 putaran, menghias rumah, mempersiapkan mental dan fisik masing-masing (mandi, berpakaian dll). Pada pagi hari, istri harus makan makanan ringan tanpa biji-bijian dan malam harinya, minum susu dicampur madu dan saffron. Bagaimanapun dia seharusnya tidak sampai merasa lapar atau makan terlalu banyak. Suami harus makan makanan yang bergizi dengan ghee dan manisan. Keduanya harus tanpa perasaan yang gelisah dan penuh kasih sayang; keduanya juga harus memakai parfum. Orang-orang jaman dulu menyarankan kalau istri harus memijat kaki suaminya sebelum berhubungan.
Menurut tradisi, suami harus bernapas melalui lubang hidung kanannya dan istri melalui lubang hidung kirinya pada waktu melakukan hubungan seksual agar pembuahannya bisa berhasil. Hal yang berlawanan sering menyebabkan kegagalan dalam hubungan ini. Pernapasan secara alami melalui satu lubang hidung ke lubang hidung yang lain silih berganti berkali-kali dalam satu hari latihan, untuk mengulangi keharmonisan ini bisa dengan pranayama.
Ayur-veda menegaskan kondisi fisik orang tua sebelum mereka melakukan garbhadana-samskara; keduanya harus dalam kondisi yang sehat dan dosas mereka harus dalam keadaan yang sempurna. Caraka, dokter Ayur-veda yang terkenal menjelaskan bahwa pasangan harus memakai garland bunga dan pakaian berwarna putih. Menurut penjelasan darinya, seorang wanita tidak boleh mengambil posisi berlutut atau dengan cara miring pada waktu berhubungan. Pada keadaan yang pertama, Vayu akan mempengaruhi organ kelaminnya sementara jika dia berbaring ke kanan, Kapha akan mempengaruhi kandungannya. Jika dia berbaring ke kiri, Pitta akan membakar ovum maupun air mani. Oleh karena itu seorang wanita harus berbaring (menghadap ke atas). Ini akan membiarkan dosas untuk tetap dalam posisinya yang normal. Jika dia merasa lapar, haus, ketakutan, sedih, marah atau dia menginginkan laki-laki lain, lebih baik untuk menunda garbhadana-samskara. Caraka juga menyebutkan kebiasaan orang-orang jaman dulu: suami harus naik ke tempat tidur, pertama dengan lengan kirinya dan istri dengan lengan kanannya: mereka kemudian harus mengucapkan mantra yang dimulai denga “ahir asi…” dan “brahma…”, dll sebelum melakukan hubungan seksual. (Caraka-samhita, sarira-sthanam, 8,4-8)
Baik Garbhopanisad maupun Ayur-veda menjelaskan bahwa “kelebihan air mani dari sang ayah akan menghasilkan anak laki-laki tetapi kelebihan cairan dari sang ibu akan menghasilkan seorang anak perempuan…” Tanggal genap adalah hari yang baik untuk memperoleh anak laki-laki sedangkan tanggal ganjil baik untuk memperoleh anak perempuan.
o Setelah melakukan hubungan seksual, dianjurkan bagi yang wanita untuk tetap berbaring selama 30 menit sampai 1 jam, dengan begitu pembuahannya akan menjadi lebih mudah. Kemudian pasangan harus mandi dan makan payasam, makanan rohani, untuk memulihkan tenaganya.

o Apabila tukang masak atau pujari yang biasanya melakukan pelayanan di temple melakukan hubungan seksual, mereka harus istirahat dari tugasnya sehari sebelum dan sehari sesudahnya. Memasuki temple setelah melakukan hubungan seksual merupakan sebuah kesalahan dalam pelayanan bhakti. Hal ini juga berlaku kalau menyentuh seorang wanita yang sedang menstruasi. Orang juga harus mandi setelah melakukan hubungan seksual.

“Jika seorang tidak ingin mempunyai lebih dari satu atau dua orang anak, dia seharusnya tidak dengan teliti menggunakan berbagai alat kontrasepsi dan pada saat yang sama menikmati kehidupan seksual. Itu sangat berdosa. Jika suami dan istri bisa mengendalikan dengan sukarela melalui kemajuan dalam kesadaran Krishna, itu adalah cara yang paling baik. Bukan merupakan suatu kebutuhan kalau hanya karena seorang mempunyai istri, oleh karena itu dia harus melakukan hubungan seksual. Keseluruhan perencanaan ini adalah untuk menghindari kehidupan seksual sejauh mungkin.” (Surat dari Srila Prabhupada tertanggal 20 September 1968).

V.6. Kelanjutan Fisik dan Pengembangan Mental janin.

“Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Di bawah pengawasan Tuhan dan sesuai dengan hasil kegiatannya, makhluk hidup, atau sang roh, dimasukkan ke dalam rahim seorang perempuan melalui partikel air mani laki-laki untuk menerima jenis badan tertentu” … Bukanlah air mani laki-laki yang menciptakan kehidupan di dalam rahim seorang wanita. Melainkan makhluk hidup, sang roh, berlindung di dalam partikel air mani dan kemudian didorong masuk ke dalam rahim seorang wanita. Kemudian badan berkembang.” (S.B.3.31.1)

“Pada malam pertama, sperma dan ovum bergabung, dan pada malam kelima gabungan itu meragi menjadi sebuah gelembung. Pada malam kesepuluh gelembung itu berkembang menjadi sebuah wujud seperti buah plum, dan setelah itu, berangsur-angsur berubah menjadi segumpal daging atau sebutir telur, sesuai keadaan.” (S.B.3.31.2)

“Dalam waktu satu bulan, terbentuk kepala, dan pada akhir bulan kedua tangan, kaki dan bagian-bagian badan lainnya terbentuk. Pada akhir bulan ketiga, kuku, jari tangan, jari kaki, rambut di badan, tulang dan kulit muncul, demikian pula organ untuk berketurunan dan lubang-lubang lain di badan, yakni mata, lubang hidung, telinga, mulut dan dubur.” (S.B.3.31.3).

“Dalam waktu empat bulan dari hari pembuahan, muncul tujuh unsur penting badan yakni empedu, darah, daging, lemak, tulang, sumsum dan air mani. Pada akhir bulan kelima, lapar dan haus menjadi terasa, dan pada akhir bulan keenam, janin tersebut, dibungkus oleh air ketuban, mulai bergerak menuju sisi kanan perut.” (S.B.3.31.4)

“Ketika badan seorang anak terbentuk secara lengkap pada akhir bulan keenam, sang anak, jika ia laki-laki mulai bergerak menuju sisi kanan, dan jika perempuan, ia berusaha bergerak ke kiri.” (penjelasan S.B.3.31.4)

V.7. Upacara Tambahan.

Garbhadana-samskara menganjurkan kelahiran seorang anak yang saleh yang akan tumbuh dewasa dan membuat orang tuanya bahagia dan melihat perhatiannya terpusat pada mereka. Tetapi bahkan sebelum dia lahir, ketika sang ibu membawanya di dalam kandungannya, dilakukan berbagai upacara ritual selain dari samskara yang utama. Di Bengali contohnya, ketika anak berusia tiga bulan di dalam kandungan, si ibu diundang untuk makan dengan semua anak-anak tetangga yang dia sukai. Upacara ini, disebut svada-bhaksana, akan diperbaharui pada usia 11 bulan dalam kandungan. Dalam peradaban Weda, kelahiran anak atau kehamilan tidak pernah dianggap sebagai suatu beban; lebih dianggap sebagai kegembiraan. (Lihat penjelasan Srila Prabhupada dalam Srimad Bhagavatam 10.7.4).

Tidak ada komentar: