Selasa, 17 Agustus 2010

Sujud

Sujud

Oleh: vedanta pati dasa



Namah purastad atha prsthatas te

Namo’stu te sarvata eva sarva

Ananta-viryamita-vikramas tvam

Sarvam samapnosi tato’si sarvah

Bhg. 11.40



Bersujud dihadapanMu, dibelakangMu dan dari mana-mana, wahai semuanya; Engkau tak terbatas dalam keperkasaan, tak terbandingkan dalam kekuatan, meliputi segalanya, dan karenanya Engkau adalah segalanya.



Demikianlah sifat-sifat maha yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa, tak terbatas dalam keperkasaan dan kekuatanNya, meliputi ruang dan waktu dan Dialah segala-galanya.

Tuhan biasa disebut dengan maha besar atau maha agung, orang lain biasa menyebut dengan akbar, padahal Tuhan juga bisa maha kecil bahkan lebih kecil daripada atom, dan banyak kalangan juga mengatakan bahwa bersujud kepada Tuhan harus dari arah tertentu sehingga jika hendak sembahyang terkadang ada kesulitan harus menghadap kemana, padahal abdi setia Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krsna yang paling dekat Arjuna mengatakan bersujud dari depan dari belakang dan dari mana-mana bisa karena memang Tuhan itu mempunyai sifat maha segalanya, tentu sangat tergantung dari situasi dan kondisi dimana kita berada, jika dalam lingkungan asram, mandir, pura dan sebagainya tentu kita menghadap ke arca atau bangunan suci atau padmasana dan sebagainya jika diluar itu masalah arah tidaklah terlalu penting.

Didalam srimad bhagavad gita maupun srimad bhagavatam banyak sekali kita temukan kata sujud atau bersujud (namah). Memang saya belum melihat dalam kamus arti luas dari kata sujud itu, tetapi yang ada dalam benak saya bersujud itu adalah satu aktifitas bhakti dalam bentuk gerakan badan posisi membungkuk bahkan mencium atau menempelkan dahi pada obyek-obyek yang dihormati dan sangat disucikan seperti halnya mencium ibu pertiwi, mencium kaki orang tua, orang-orang suci, guru-guru kerohanian, kaki padma Tuhan dalam bentuk Arca dan seterusnya.

Diluar posisi badan seperti itu barangkali kurang pas jika disebut dengan bersujud, memang ada sebagian dari teman-teman mengatakan soal posisi tidak terlalu penting, yang paling penting adalah hatinya yang bersujud walaupun posisi badan tetap berdiri tegak atau duduk. Ya itu boleh-boleh saja pendapat masing-masing orang yang juga harus dihormati.

Tetapi satu hal yang perlu disadari dan difahami bahwa tradisi bersujud itu adalah peradaban weda yang sudah ada sejak zaman purba hingga kini dan tentu masa-masa yang akan datang, dalam kitab-kitab suci banyak sekali kata namah atau namo yang artinya sujud atau bersujud kita temui, begitu juga dalam relief-relief banyak sekali kita lihat bagaimana Sri Rama bersujud kepada Dasaratha ayahandanya, kepada ibunya, kepada semua resi-resi agung yang ditemuinya, kepada para leluhur, kepada para dewa dan sebagainya. Demikian juga Sri Hanumanji sang abdi agung selalu bersujud dikaki padma Sri Rama dan Ibu Sita, hal yang sama juga merupakan kebiasaan Laksmana bahkan Laksmana sendiri tidak pernah memandang wajah Ibu Sita karena pandangannya hanya tertuju pada kaki padma Beliau.

Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Sri Krsna sendiri juga demikian bersujud dikaki Nanda Maharaj dan Ibu Yasodha, dan banyak sekali kepribadian-kepribadian yang agung memberi contoh kepada kita semua yang harus kita teladani.

Lalu pertanyaanya adalah siapa itu Sri Rama? Jawabnya tentu semua tahu Beliau adalah Krsna itu sendiri yang turun ke dunia mengambil wujud manusia untuk sebuah misi menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma yang pada saat itu mulai melemah. Lalu siapa gerangan Sri Hanuman? Beliau adalah Dewa Shiva itu sendiri yang turun ber ekspansi ke alam material dari planit Beliau yang rohani di Kaliasa mengambil badan material agar dapat melakukan pengabdian suci dan melayani Tuhan dalam wujud Sri Rama dan Ibu Sita.

Lalu siapa Sri Krsna? Beliau adalah Kepribadian Tuhan yang turun ke dunia material ini dalam wujud Krsna itu sendiri untuk kembali menegakkan prinsip-prinsip dharma yang semakin merosot pada akhir dwaparayuga.



Jika demikian adanya maka kepada orang tua, kepada guru-guru kerohanian, kepada resi-resi agung, kepada orang-orang suci kepada para leluhur, kepada para Dewa dan kepada Tuhan itu sendiri salahkah jika kita bersujud kepada Beliau? Malukah jika kita bersujud kepada Beliau? Ragukah jika kita bersujud kepada Beliau? Ditertawakan orangkah jika kita bersujud kepada Beliau, dimarahkah jika kita bersujud kepada Beliau? dan seterusnya dan seterusnya.

Mari kita coba renungkan sedalam-dalamnya dengan kejernihan dan ketundukan hati, mari coba berdialog dengan sang jiwa agar kita mendapatkan jawaban yang jujur. Jika kepribadian-kepribadian yang agung seperti yang disebutkan diatas saja dengan tunduk hati bersujud kepada yang wajib Beliau sujudi lalu ada apa dengan saya? saya ini siapa, apakah saya sebanding dengan Beliau-Beliau itu? jika tidak lalu kenapa saya sulit sekali melakukannya, sulit sekali mengenyahkan kuatnya batu karang egois yang ada pada diri saya, semakin bertekuk lututnya kita menghadapi kesombongan yang ada pada diri ini dan seterusnya. Atau bersujud itu menurut kita adalah milik orang lain atau agama lain? Sehingga kita merasa pantangan dikatakan ikut-ikutan, Pertanyaan berikutnya adalah apakah mereka yang lebih dulu ada daripada hindu atau sebaliknya? Jawabnya tentu jelas hindu sudah ada jauh sebelum mereka ada. atau bersujud itu bukan budaya kita? Jawabnya tentu jelas bahwa bersujud itu adalah budaya weda.

Pertanyaan terakhir barangkali apakah kita masih ragu-ragu dengan weda atau hindu?

Nah untuk yang satu ini silakan dijawab sendiri.

Jika ingin menerapkan ajaran luhur itu secara lebih baik dalam kehidupan ini maka lakukanlah tanpa keraguan sedikitpun, jangan dihantui rasa malu apalagi takut. Terimalah ajaran itu apa adanya tanpa harus membanding-bandingkan dengan ajaran lain.

Yakinilah bahwa semuanya ada di sana dan kita tidak perlu harus mencarinya kemana-mana ditempat lain, karena itu hanya menghabis-habiskan energy saja. Melayani Tuhan, melayani guru-guru kerohanian, melaksankan aktifitas japa, terus-menerus memuji Tuhan dengan gerakan sankirtanam dan sebagainya yang diautorisasi oleh Sri Caitanya Mahaprabu kurang lebih 500 tahun yang lalu, itulah gerakan bhakti.

Sudah terbukti melalui itu hindu berkembang ke berbagai Negara dari daratan India ke Amerika, Eropa, Australia dan seterusnya.

Namun justru menjadi kontradiktif bagi kita yang belum menerima hal itu, ini dibuktikan dengan semakin bertambahnya jumlah orang hindu di Bali yang hijrah ke agama lain.

Untuk itu sekali lagi mari kita semua merenungkan hal ini



Om Namo Bhagavate Vasudeva ya

Kamis, 05 Agustus 2010

Keseimbangan Jiwa
Oleh: vedanta pati dasa

sama-duhkha-sukhah sva-sthah
sama-lostasma-kancanah
tulya-priyapriyo dhiras
tulya-nindatma-samstutih
Bhg. 14.24

Dia yang seimbang terhadap suka maupun duka, percaya pada diri sendiri, melihat sama terhadap segumpal batu maupun emas, sama terhadap yang dicintai dan yang tidak dicintai, teguh pada pendirian, baik pada cacian maupun pujian.

Tingkatan kualifikasi seperti itu sulit sekali dijumpai pada kehidupan manusia masa kini, tetapi hal itu juga bukanlah sesuatu yang mustahil ada pada era kaliyuga ini. Tokoh besar bangsa India Mahatma Gandi sebelum menghembuskan nafas terakhirnya masih sempat mengucapkan kata-kata bijaknya memaafkan orang yang telah menembaknya hingga menemui ajalnya.
Walaupun pemerintah China menganggap tokoh spiritual Tibet Dalai Lama sebagai srigala berjubah bhiksu namun pemimpin budha itu tetap mengatakan bahwa dia menerima pemerintah Beijing dan hanya mencari otonomi berarti bagi Tibet.
Kedua contoh diatas membuktikan bahwa dua kepribadian mulia itu mampu merespon kebencian yang ditujukan kepadanya dengan kebaikan. Memandang semuanya dengan kacamata yang sama yaitu cinta, dan keduanya adalah para peraih predikat diri sebagai jiwa-jiwa yang agung atau mahatma.
Mereka mampu memandang sama terhadapa dua yang berbeda (rwa bhineda) terhadap suka maupun duka, anugrah dan bencana, hidup dan mati, siang dan malam dan seterusnya.
Hal ini bisa terjadi karena ada seberkas kekuatan yang teramat sangat dasyat yaitu keyakinan, kesadaran dan kebenaran. Jika dalam sejarah wangsa Bharata ada ksatria perkasa Arjuna mampu membunuh kakek kesayangannya Bhisma dalam perang maha dasyat di medan Kuruksetra tanpa dendam dan benci, tentu juga karena kekuatan terakhir itu.
Yudistira setelah dinobatkan sebagai raja Hastina Pura mampu menempatkan orang-orang yang sebelumnya telah berusaha menghancurkannya pada posisi terhormat.
Di Bali akhir-akhir ini diramaikan dengan berita tentang kegagalan panen padi akibat dari serangan hama tikus, dan lebih mencengangkan lagi semakin tikus-tikus itu diperangi (dibunuh) seranganya itu justru semakin mengganas seperti ada perlawanan. Mengusir tikus tanpa harus membunuhnya memang pekerjaan yang tidak gampang tetapi juga pekerjaan yang barangkali tidak mustahil untuk bisa dilakukan. Jika dengan kekuatan cinta seperti doa-doa melalui ritual sederhana tetapi satvik seperti homa yagya dan sebagainya, disertai dengan upaya-upaya lain seperti memagari tanaman dengan unsure-unsur yang tidak memungkinkan hama itu melakukan gangguan dan sebagainya, namun serangan itu tetap tidak bisa diatasi maka kembalikan ke sloka diawal tidak bersedih hati yang berlebihan dikala mendapatkan bencana, dan tidak bersenang hati yang berlebihan dikala mendapatkan keberuntungan, semua diserahkan kepada sang sutradara kehidupan yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Cara penyerahan itu dalam bentuk syukur apapun yang terjadi atas diri ini dan dunia ini adalah semata-mata atas kehendakNya, namun tetap disertai dengan upaya-upaya kerja, kerja dan terus berkarya karena hanya itu kewajiban kita dan bukan pada hasilnya. Jika kualifikasi seperti itu yang menyelimuti diri ini tentu sudah ada arah untuk mendekat ke sabda Krsna diawal.
Intinya jangan pernah lelah untuk menyayangi siapapun termasuk kepada semua mahluk lain walaupun dimata kita dia pernah membuat kekeliruan tetapi dimata Tuhan belum tentu demikian karena baik pengelihatan, pengamatan dan pengetahuan kita sangat terbatas.
Demikian juga jika bencana menimpa seperti kebanjiran, kebakaran, kecelakaan dan sebagainya hendaknya jangan larut dalam kesedihan, karena kita tidak pernah tahu tentang rencana Tuhan itu seperti apa. Yang harus dilakukan adalah berusaha untuk mampu memahami dan mengambil hikmah dibalik kejadian itu, jika kita mampu mengambil hikmah dari setiap kejadian maka kita pasti akan menjadi kuat dan jika kita kuat dalam menghadapi setiap kejadian maka hidup ini terasa lebih bermakna.
Bisa saja Tuhan mengurangi sebagian dari harta yang kita miliki walau sesungguhnya itu bukanlah milik kita dengan cara Beliau untuk mengurangi kemelekatan kita kepada material itu agar kita menjadi ingat dan selalu ingat kepada Beliau.
Pengalaman Ibu Kunti yang suci ketika putra-putra beliau masih kecil-kecil suami beliau Pandu yang menjadi tumpuan hidup keluarga diambil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, maka Ibu Kunti praktis merawat dan membesarkan kelima putranya dengan penderitaan, namun ibu Kunti tidak pernah putusasa, beliau menjalani kehidupanya bersama kelima putranya dengan cinta dan kasih sayang, bersahaja selalu mohon tuntunan dan kekuatan kepada Vasudeva Krsna, bahkan beliau memohon kepada Krsna oh Vasudeva berikanlah selalu kami penderitaan dalam mengarungi kehidupan ini agar kami selalu dapat mengingatMu, karena dengan selalu mengingatMu maka semuanya tentu menjadi baik.
Ini artinya jika kita dalam menjalani hidup dan kehidupan ini selalu bersama Tuhan, maka semuanya akan menjadi baik dan mudah.
Apapun yang terjadi pada masa kini tentu tidak pernah lepas dari apa yang terjadi pada masa yang lalu, dan juga apapun yang terjadi pada masa yang akan datang tidak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi pada masa kini, karena itu merupakan lingkaran karma yang tidak bisa dihindari oleh siapapun termasuk para dewa, disinilah pentingnya sebuah kesadaran.
Jika kesadaran itu sudah bertumbuh dengan baik maka disana pasti ada kecerdasan rohani dalam menyikapi kehidupan ini dimana semua yang bersifat material itu adalah sementara saja alias tidak kekal, dan tidak akan ada penyesalan dengan apapun yang terjadi yang berhubungan dengan hal-hal material itu, apakah dia gagal panen, ataukah dia panen raya, apakah dia mengalami bencana, apakah naik jabatan ataukah dia di phk, apakah mendapatkan keuntungan besar dalam berbisnis atau sebaliknya mengalami kerugian dan sebagainya semuanya dihadapi dengan tenang dan keseimbangan jiwa.
Dan dengan kesadaran itu juga justru akan menumbuh-kembangkan upaya-upaya untuk melakukan pembenahan dan peningkatan kualitas diri menuju kesadaran Tuhan, karena tujuan akhir dari hidup ini adalah untuk mencapai Tuhan.
Biarkan hidup berjalan apa adanya mengalir bagaikan aliran sungai jalanilah bersama Tuhan karena jika hidup ini kita jalani bersama Tuhan maka apapun yang terjadi dan apapun yang menghadang didepan kita itu adalah rencana Tuhan semata-mata dan kita pasti dapat melewatinya dengan baik.

Om Namo Bhagavate Vasudeva ya