Sabtu, 10 Juli 2010

Pertanyaan Arjuna pertanyaan kita juga!

Pertanyaan Arjuna pertanyaan kita juga!

Oleh: vedanta pati dasa



arjuna uvaca:

ye sastra-vidhim utsrjya

yajante sraddhaya’nvitah

tesam nistha tu ka krsna

sattvam aho rajas tamah

bhg. 17.1

Arjuna berkata:

Mereka yag melalaikan ketentuan veda, tetapi melaksanakan kurban dengan penuh keyakinan, bagaimanakah sifat bhakti mereka ini wahai Krsna, apakah ini disebut sattva, rajah atau tamah?



Beberapa sabda Sri Krsna diuraikan dengan jelas dalam srimad bhagavad gita atas pertanyaan Arjuna ini, dan satu diantaranya adalah sebagai berikut: kepercayaan tiap-tiap individu wahai Arjuna tergantung kepada sifat wataknya, manusia terbentuk oleh kepercayaanya, apapun kepercayaanya demikian pulalah dia adanya.

Sangat beruntung sekali Arjuna mendapatkan kesempatan untuk bertanya dan sekaligus sebagai satu-satunya orang yang dipilih untuk menerima langsung ajaran rahasia ini dari kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krsna selaku sang penyabda.

Namun sebenarnya kita juga tidak kalah beruntungnya dimana masih diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menerima dan mendalami ajaran srimad bhagavad gita yang merupakan sarana menuju kejayaan melalui guru-guru kerohanian karena sesungguhnya Sri Krsna itu sendiri yang turun dalam wujud bhagavad gita.

Kalau boleh merenung; semua orang tentu tahu Arjuna adalah murid guru Drona yang paling cerdas, penuh cinta dan kasih sayang bahkan beliau selalu memberikan identitas dirinya jika ada yang bertanya maka beliau selalu menjawab; saya adalah Arjuna murid Drona, lalu apa sesungguhnya yang bergolak dalam pemikiran beliau dan apa yang melatar belakanginya sehingga beliau bertanya seperti itu? Ini tentu tidak terlepas dari kecerdasan beliau yang pikiranya mampu menjangkau sangat jauh kedepan. Dan ini terbukti setelah kurang lebih lima ribu tahun kemudian pertanyaan itu benar adanya dimana umat hindu masih banyak atau bahkan sebagian besar masih senang melaksanakan kurban-kurban suci bahkan terkesan megah penuh keyakinan namun kurang memahami dari sudut pandang kitab sucinya dalam hal ini veda.

Dan banyak kalangan mengatakan jika pengorbanan suci (yagya) yang dibangun mampu menciptakan kebahagiaan hati para pelakunya maka itu sudah cukup bahkan itulah sesungguhnya tujuan utama dari sebuah yadnya, jadi tolak ukur keberhasilannya adalah kebahagiaan pada dirinya semata.

Misalnya dalam melaksanakan upacara pitra yadnya (pengabenan), sang yajamana keinginannya cendrung melaksanakannya dengan megah dan tentu biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit apalagi memang mereka tergolong orang mampu, nah selama mempersiapkan upacara yang serba megah itu pasti butuh waktu lama dan melibatkan banyak orang dan tentu sang jenazah akan disemayamkan dalam waktu yang lama juga.

Selama itu pula untuk menjamu para tamu dan pelaksana upacara tentu butuh banyak hewan-hewan piaraan dipotong untuk konsumsi mereka seperti ayam, babi dan sebagainya.

Semakin dibesarkan ritualnya, semakin banyak pejabat, tamu, warga dan kerabat yang hadir tentu semakin meningkatkan gengsi sang yajamana, dan ini barangkali pendapat dan tujuan sebagian besar orang masa kini, dan hal inilah mungkin yang membuat sang yajamana merasa bangga dan bahagia.

Padahal dalam sastra disebutkan membangun kebahagiaan melalui penderitaan mahluk lain sama sekali tidak dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip kasih saying (ahimsa), kemudian semakin lama sang jenazah disimpan tentu juga berdampak kurang baik terhadap kesehatan lingkungan, mestinya diusahakan sang jenazah disemayamkan tidak lebih dari 3 hari karena jika lebih dari itu kemudian baru dibakar maka kondisi jenazah sudah tidak segar lagi dan hal ini akan menghambat lidah sang dewa agni untuk melalapnya, demikian juga semakin banyak pekerja yang dilibatkan dalam pelaksanaan yagya itu maka semakin banyak pula hutang budi yang harus dibayar oleh sang roh dan hal ini justru menghambat perjalanan sang roh itu sendiri menuju gerbang pembebasan karena disini masih ada ikatan material karena secara tidak disadarai telah dijerat oleh ikatan material.

Ada juga sebagian berpendapat lain harus mencari waktu (duase) yang baik untuk pembakaran jenazah katanya sehingga harus menunggu waktu lama, padahal waktu yang harus dihindari saat pembakaran jenazah hanya hari ekadasi saja yaitu hari ke sebelas sebelum purnama (bulan penuh) atau tilem (bulan mati) karena berdasarkan veda hari itu adalah hari upawasa (puasa) atau minimal tidak mengkonsumsi biji-bijian sebab pada hari itu sang Yama Raja melepas sementara tahanan di planit neraka dan para tahanan itu masuk kedalam biji-bjian seperti beras, gandum, kacang-kacangan dan lain-lain dan jika kita pada hari itu mengkonsumsinya maka tentu menambah dosa-dosa. Sementara tidak sedikit yang berpendapat lain seperti harus menunggu sanak keluarganya datang dari tempat yang jauh agar dapat melihat jenazahnya sebelum dikremasi dan sebaginya, itulah keragaman alasan yang dibuat oleh masayarakat kita dewasa ini.

Nah jika dicermati beragamnya alasan-alasan diatas tentu semua itu tidak dapat dipungkiri bahwa semuanya bersifat material karena yang diutamakan hanyalah kebahagiaan sang yajamana dan keluarganya.

Dan jika yang mendapatkan kebahagiaan itu yang notabene adalah kebahagiaan sesaat adalah sang yajamana sementara sang roh (yang yang diupacarai) itu justru mengalamai hambatan bahkan derita berkepanjangan untuk membebaskan dirinya dari pengaruh-pengaruh material maka sudah dapat disimpulkan bahwa yagya itu telah bergeser dari tujuan utamanya, dan inilah yang sering terjadi pada masyarakat kita.

Maka dari itu pertanyaan Arjuna seperti sloka diawal benar dan terbukti adanya. Dan sabda Krsna sebagai jawaban atas pertanyaan Arjuna itu perlu kita renungkan, kita kaji, dan akhirnya kita jadikan acuan dalam melaksanakan kewajiban kita dilahirkan sebagai manusia di bumi ini sebagai bentuk tanggungjawab kita kepada Tuhan, kepada leluhur, kepada sesama dan seterusnya didasari rasa tulus iklas dan cinta-bhakti yang tinggi.

Intinya adalah harus ada kemauan untuk memahami ajaran suci secara lebih baik dan tentu dari pemahaman itu akan tumbuh keberanian untuk merubahnya, harus ada upaya-upaya serius untuk tidak mempertahankan budaya-budaya yang memang kurang sesuai dengan kondisi kaliyuga dan prinsip-prinsip weda, jangan takut atau terbebani oleh beragam pikiran seperti; ah…nanti disakiti leluhur, kepongor, dan ketakutan-ketakutan yang tidak berdasar lainya harus segera di hilangkan dari pikiran kita, bila perlu mari kita berani untuk merevolusi pikiran menuju kebaikan tentu berdasarkan acuan yang jelas yaitu kitab suci.

Apa yang dipaparkan diatas hanyalah satu contoh saja yaitu upacara pitra yadnya, belum lagi contoh-contoh yang lain tentu kasusnya hampir sama.

Semoga kedepan kita senantiasa mempunyai keinginan dan kemampuan untuk merubah diri menjadi semakin baik dan semakin baik lagi.



Om Namo Bhagavate Vasudeva ya

Tidak ada komentar: